Showing posts with label prestasi. Show all posts
Showing posts with label prestasi. Show all posts

Monday, May 17, 2010

Nenek 94 Tahun Berhasil Raih Gelar Sarjana


Salut, Nenek 94 Tahun Berhasil Raih Gelar Sarjana

Senin, 17 Mei 2010, 11:36 WIB

Hazel Soares (kanan) yang berusia 94 tahun tampak ditemani anaknya Matthew Soares (kiri) yang berusia 59 tahun dalam upacara wisuda.

REPUBLIKA.CO.ID, OAKLAND--Tak pernah ada kata terlambat untuk memperoleh gelar kesarjanaan. Buktinya, wanita berusia 94 tahun asal Amerika Serikat yang termasuk diantara 500 wisudawan dalam sebuah upacara di Mills College.

"Memang membutuhkan waktu lama bagi karena saya memiliki kehidupan yang sibuk. Akhirnya saya bisa melakukannya dan membuat saya merasa sangat bangga," ujar Hazel Soares.
Soares yang memiliki enam anak dan 40 cucu serta cicit itu tercatat sebagai orang kedua tertua yang meraih gelar sarjana.

Nola Ochs dari Kansas masih tercatat sebagai orang tertua meraih gelar sarjana dari Fort Hays State University tiga tahun lalu, pada usia 95 tahun, berdasarkan catatan Guinnes Book of World Records. Saat ini, Ochs yang berusia 98 tahun itu berhasil meraih gelar Master untuk studi liberal dari Fort Hays.
Terlahir di Richmond, California pada tahun 1915, Soares mengatakan dia ingin duduk di bangku kuliah setelah lulus dari Roosevelt High School in Oakland tahun 1932. Namun, saat itu terjadi krisis besar-besaran.

"Kecuali Anda memiliki bantuan, sangat mustahil untuk bisa masuk universitas. Namun, keinginan itu tidak pernah hilang," tuturnya.

Soares kemudian mengalami dua kali pernikahan dan membesarkan enam anak. Dia bekerja sebagai perawat dan penyedia jasa penyelenggara acara sebelum pensiun dan memutuskan untuk mengejar impiannya untuk meraih gelar sarjana.

Nenek tersebut harus menghabiskan enam tahun kursus di Chabot Collegge yang diselesaikannya pada usia 85 tahun. Kemudian, Soares masuk Mills College pada tahun 2007.

"Kami sangat kagum dan bangga terhadap keberhasilan ibu saya," ujar Regina Hungerford, anak bungsu Soares. "Hal terbesar yang diajarkannya, kita tidak pernah terlalu tua untuk belajar," tegasnya.
Para upacara wisudawan Sabtu (15/5), Soares secara khusus memperoleh ucapan selamat dari pembicara utama Universitas, Nancy Pelosi yang disambut dengan sorak sorai dari rekan-rekannya serta lebih dari 40 anggota keluarga yang hadir.
Soares mengaku tidak berencana bersantai-santai setelah meraih gelar tersebut. Memiliki gelar sarjana di bidang sejarah seni, dia berharap dapat bekerja di museum sekitar San Fransisco Bay.

Dia sendiri mengaku tidak mengetahui bagaimana memiliki umur panjang, mengingat tak ada anggota keluarganya yang berusia seperti dirinya. Soares mempercayai, hal itu terkait dengan kebiasaannya mengonsumsi banyak sayuran segar.

Kini Soares masih menyetir mobil sendiri dan memeriksakan kesehatannya hanya satu kali tiap tiga tahun. Dia mengaku, tak mengonsumsi obat-obatan apa pun.

"Tak ada alasan mengapa Anda tidak bisa kembali. Sebagian orang menyerah atau menunda idenya dengan alasan terlambat atau terlalu sulit. Mereka mungkin tidak menyadari, sekali Anda mencoba maka sangat menyenangkan kembali ke sekolah," ujarnya bersemangat.

http://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/10/05/17/115874-salut-nenek-94-tahun-berhasil-raih-gelar-sarjana

Saturday, May 15, 2010

Kisah Pelajar yang Jadi Tulang Punggung Keluarga


Kisah Pelajar yang Jadi Tulang Punggung Keluarga

Sabtu, 15 Mei 2010, 08:53 WIB

Sri SuryaniREPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--"Maaf, Mas, jam 4 aku harus ngajar TPA," katanya membuka percakapan. Dia terlihat lelah dan pucat. Memarkir sepedanya di halaman kantor Dompet Dhuafa Yogyakarta, gadis itu masih terengah-engah. "Mau minum?" saya menawarkan. "Terima kasih, saya sedang puasa sunnah Senin," jawabnya cepat. Hebat, batin saya. Perlahan dia menaruh tas gendongnya di kursi dan mulai bicara.

Gadis di depan saya adalah Sri Suryani. Dia baru 16 tahun dan saat ini sedang bersekolah di salah satu SMA favorit di Yogya. Di sekolah dia masuk 10 besar. Yanni, berbeda dengan anak seusianya yang sebagian besar masih asyik bersenang-senang menikmati masa remaja. Di usia remaja dia terpaksa menjadi tulang punggung dan kepala keluarga sejak 2008.

“Tahun 2006 ibu saya, Wiji Lestari, meninggal mendadak di usia 39 tahun, tanpa sebab apa-apa. Saya masih kelas 2 SMP. Saat itu saya sedang mengajar di TPA sore-sore dan tahu-tahu dikabari bahwa Ibu sudah nggak ada. Tahun 2008, bapak saya, Mujiwal (49), terkena stroke. Pekerjaannya sehari-hari sebagai buruh bangunan berhenti,” tuturnya lugas, seolah semua itu bukan masalah yang besar.

Sejak itu, Yanni seketika merangkap jadi kepala keluarga, membiayai dirinya berikut ayah dan Nugroho, adiknya yang masih SD. Untuk membiayai sekolahnya, dia berakit-rakit dari satu beasiswa ke beasiswa yang lain. Salah satunya dari Dompet Dhuafa Yogya, karena sebelumnya dia dibantu oleh BMT Beringharjo yang merupakan mitra DD Yogya. Beasiswa ini dia gunakan untuk membiayai sekolahnya.

Setiap hari Yanni berangkat ke sekolah dari rumahnya di Kampung Bangunrejo, Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta dengan sepeda. Selepas sekolah, dia mengajari adiknya menyelesaikan PR dan segera berangkat lagi mengajar TPA dan ke tempat privat sampai malam. Honornya relatif, rata-rata Rp 400 ribu sebulan kalau ditotal. Di dusun kecil itu, Yanni hanya tinggal bertiga, keluarga besar orang tuanya berada di Klaten.

"Saya tidak mau merepotkan dan menjadi beban bagi keluarga besar," katanya. Lalu kapan belajarnya? "Saya belajar setiap habis salat tahajud, jam 3 sampai jam 5. Setelah itu ya resik-resik dan menyiapkan kebutuhan Ayah dan adik," tuturnya. Dia mengaku walaupun hanya 2 jam belajar, sudah cukup untuk memahami materi. Hasilnya, pada setiap ujian semester, nilainya cukup memuaskan.

Ketika ditanya bagaimana reaksi teman-temannya dengan kondisinya, Yanni menjawab diplomatis, "Kalau mereka `kan kebanyakan kondisinya ideal, jadi tinggal belajar tok! Saya tetap berhubungan dengan baik dan menerima ajakan mereka selama tidak mengganggu amanah saya.” Selepas SMA tahun depan, cita-citanya hanya satu, masuk Fakultas Kedokteran UGM, menjadi dokter dan berkarya di bidang kesehatan. “Bismillah, semoga Allah meridai. Saya ingin jadi direktur sebuah rumah sakit gratis untuk orang miskin berskala internasional,” katanya berharap. Yanni mengaku sering membaca di koran, banyak keluarga miskin ditolak masuk rumah sakit karena jatah Jamkesmas habis.

“Itu yang salah siapa? Pemerintah atau siapa, saya ingin menolong mereka,” ucapnya menerawang. Cita-citanya untuk kuliah di Yogya bukan tanpa alasan. Ayah dan adiknya sangat butuh perhatiannya. Yanni sendiri sangat berharap, bisa membawa ayahnya ke rumah sakit mengobati stroke-nya, agar ayah nya bisa pulih kembali seperti sedia kala. Walaupun belum tahu bagaimana dia akan meraih cita-citanya, namun setidaknya Yanni sudah memiliki semangat baja dan mental tangguh yang jarang dimiliki bahkan oleh orang dewasa sekali pun.

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/05/15/115718-kisah-pelajar-yang-jadi-tulang-punggung-keluarga